OPINI

Budaya Uang Panaik dan Mahar Politik

281
×

Budaya Uang Panaik dan Mahar Politik

Sebarkan artikel ini

Suatu waktu penulis bertemu dengan teman lama. Ia bukan orang lain, tapi teman akrab satu sekolah yang lama baru ketemu kembali.

Seperti lazimnya orang berteman dan lama baru ketemu, tentu banyak menguliti pertanyaan kabar, pekerjaan, hingga pertanyaan sudah berkeluarga atau sudah punya anak berapa.

advetorial

Memang pertanyaan ini kadang susah dihindari, entah motifnya ingin benar-benar tahu keadaan temannya atau hanya ingin memastikan bahwa teman saya ini sudah berhasil atau sudah punya keluarga atau sudah sukses.

Singkat cerita saya bertanya ke dia
“Kemana aja selama ini bro ? Kamu sekarang sukses ya? Kerja apa sekarang ? Sudah punya anak berapa sekarang?

Tanyaku sepintas, ia pun balik bertanya kurang lebih sama, namanya juga teman lama pasti ingin tahu banyak setelah lama baru bersua.

Suatu waktu saya juga bertemu dengan teman saya yang juga masih melajang di salah satu warkop.

Malam itu, saya sempat tanya, kenapa belum menikah? Kamu kan udah punya pekerjaan dan sudah berumur. Tanyaku ?

Ia hanya menjawab dulu saya pernah serius sama seseorang, bahkan sempat saya ingin lamar, uang panaik sudah siap, tapi tidak jadi.

Saya tanya sekarang, kenapa belum coba kembali?
Ia jawab saya belum cukup uang panaik (uang belanja versi suku bugis) untuk kekasihnya.

Dalam konteks budaya uang panaik ini memang salah satu urusan wajib bagi seorang laki-laki suku bugis untuk meminang kekasihnya.

Konon besarnya uang panaik tergantung status sosial calon pengantin perempuannya.

Jika ia seroang keturunan bangsawan, pendidikannya bagus dan punya pekerjaan tetap, tentu hal lazim pihak perempuan meminta mahar lebih.

Apalagi pestanya, biasanya menggunakan gedung mewah, lengkap dengan aksesoris yang mewah.

Tak-tanggung yang hadir biasanya juga toko-tokoh pemerintahan, politik atau orang tersohor di daerah itu.

Tak tanggung-tanggung passolo (hadiah untuk pengantin/biasa dalam bentuk uang atau benda) juga lumayan besar.

Beda halnya kalau status calon pengantin perempuannya dari keluarga biasa-biasa saja, pendidikannya juga standar, biasanya maharnya juga menyesuaikan dengan kondisi calon pengantin laki-lakinya.

Pestanya juga biasa-biasa saja. Biasa tamunya juga terbatas hanya pihak keluarga atau teman dekat pengantin.

Tentu dalam budaya bugis, sebelum dua insan resmi menikah, ada proses mammanu-manu (diplomasi) dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.

Utusan dari pihak laki-laki ini lah yang dipercayakan untuk mendatangi keluarga perempuan, untuk membicarakan uang panaik, waktu dan tanggal ditetapkan mappenre dui (Kasi Naik Uang ke pihak perempuan) dan hari H pestanya.

Tentu yang punya andil besar menentukan besar kecilnya dan waktu penyerahan uang panaik ditentukan oleh pihak perempuan ketika lamaran pihak laki diterima.

Dan besar kecilnya uang panaik dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, ada peran besar utusan pihak laki-laki untuk berdiplomasi dengan calon mempelai perempuan.

Terjadilah kesepakatan kedua belah pihak hingga rangkaian mulai dari mappenre dui (Kasi Naik Uang Panaik ke pihak perempuan) dan hari H pestanya.

Dalam konteks politik, ada budaya yang hampir sama antara budaya proses pernikahan orang bugis, dengan proses para kandidat pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati ketika ingin maju pilkada.

Yang kita bahas disini adalah Pilkada Bone dimana penulis berdomisili mencari rejeki dan mencari informasi.

Diawal prosesnya banyaklah figur-figur bakal calon bermunculan.

Bak laki-laki yang baru baliq, banyaklah godaan godaan yang ia tampilkan ke publik karena ingin mendapat simpati calon pasangan atau ingin memikat hati agar dapat restu sang empu partai.

Ibarat laki-laki ingin menarik simpati calon mempelai perempuannya, bertebarlah baliho dan spanduk dan berita di media menyatakan siap maju pesta demokrasi pilkada dengan gaya super ganteng dan klimis.

Dengan narasi maju Pilkada Bone ingin memajukan Bone atau ingin membuat Bone lebih Baik ataupun dengan narasi lainnya, tiap saat kita lihat, baca dan dengar dalam prosesnya pencarian pasangan calon ini terjadi.

Seleksi alam berlaku, para bakal calon ini ada yang berlanjut ke pilkada karena sudah menemukan calonnya, ada juga yang ditinggal calon pasangannya dan memilih pasangan yang lain, karena tak menjanjikan ke depan.

Ada juga yang hanya sekedar coba-coba, tapi tak punya daya untuk memberi mahar untuk partai, hingga tak pernah muncul kembali.

Tentu para bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Bone untuk berlabuh di Pilkada Bone bukan proses yang mudah.

Tarik menarik partai pengusung membuat psikologi, para kandidat juga pasti rapuh, hingga kemudian bisa bernafas lega karena sudah punya pasangan dan memiliki kendaraan yang akan mengantarkannya ke pelaminan pesta demokrasi hingga batas waktu yang ditetapkan KPU Bone.

Tentu ini butuh biaya, kendaraan partai pengusung ini bukan hal yang gratis terlebih yang bukan orang partai.

Tentu ada mahar politik yang harus disiapkan oleh para pasangan calon untuk meyakinkan yang punya partai agar memberikan restu untuk digunakan berlabuh di pelaminan yakni Pilkada.

Ya seperti bicara warung kopi yang sering penulis dengar, nilai mahar satu kursi partai itu lumayan besar nilainya, ada yang mengatakan limitnya mulai 500 juta hingga 1 miliar per kursi.

Tentu nilai ini tergantung kebijakan masing-masing yang punya partai, dan kedekatan pasangan calon atau utusan yang dikirim utuk berdiplomasi seperti yang sering penulis dengar di warung kopi dari para politisi.

Dalam konteks budaya uang panaik dalam versi bugis ketika ingin pihak laki-laki ingin meminang calon mempelai perempuan memang ada harga yang harus dibayar sebagai bukti keseriusan.

Begitupun dalam budaya mahar politik, tentu hal ini lumrah kita dengar di warung-warung kopi ketika para pengamat dan politisi berkumpul nyeruput bersilang pendapat tentang para keunggulan kandidatnya dan peluang jagoannya mendapatkan usungan partai politik.

Ada nilai yang harus dibanderol oleh para calo kepala daerah jika ingin memboyong satu partai apalagi jika partai itu punya kursi lebih apalagi jika jumlah partai yang diboyong cukup banyak.

Ibarat gadis cantik bangsawan nan jelita, berat jika si calon laki-laki tidak punya kelebihan lebih jika ingin mempersunting hingga naik pelaminan.

Parpol juga demikian, pasti ia akan bersolek, jual mahal ke para peminatnya apalagi jika ia lebih punya power dan kursi lebih dibandingkan partai lainnya.

Tentu maharnya berbeda, ibarat slogan sebuah brand terkenal, ada harga ada kualitas.

Tapi yang membedakan antara budaya uang panaik dan mahar politik untuk partai yakni uang panaik dalam konteks agama bukan rukun sah tidaknya perkawinan, tapi suatu budaya yang dianggap lazim oleh masyarakat bugis sebagi bentuk penghargaan lebih laki-laki kepada calon mempelai perempuannya.

Sedangkan dalam konteks mahar politik untuk parpol dalam pilkada, adalah urusan wajib yang harus ditunaikan pasangan calon jika ingin serius mendapatkan restu partai jika ingin berlabuh di Pilkada.

Jika tidak mampu, tentu ada pihak lain yang siap melamar dan siapkan mahar lebih 

Yang membedakan lainnya adalah uang panaik ketika lamaran dilakukan saat pihak laki-laki mengantar uang panaik ke rumah pihak mempelai perempuan, diumumkan oleh pemangku adat dan disaksikan keluarga kedua belah pihak.

Sedangkan mahar politik untuk partai, ibarat kentut yang tercium baunya, tapi tidak nampak wujudnya.

Bersambung…..

Penulis : Dedi Hamzah
(Pimred Kabarbone.com)

Baca Juga  Bawaslu Bone Ingatkan ASN Tak Terlibat Politik Praktis Jelang Pelaksanaan Pilkada