KABARBONE.COM, JAKARTA – Gebrakan atau inovasi di era revolusi industri 4.0 telah menimbulkan fenomena disrupsi tidak hanya di sektor riil tetapi juga di sektor keuangan terutama perbankan. Pandemi Covid-19 yang kini merebak bahkan menjadi katalis bagi industri perbankan RI untuk segera mengadopsi model digital banking.
Dalam beberapa tahun belakangan ini industri financial technology (fintech) menjadi semakin marak dan membawa ancaman bagi para pemain di sektor perbankan dalam negeri.
Kemunculan platform dompet digital (e-wallet) hingga peer to peer lending membuat bank-bank konvensional menjadi lebih agresif dalam melakukan transformasi digital.
Para pemain lama berlomba-lomba untuk melakukan permak diri dan berubah menjadi digital banking agar tetap relevan dengan perkembangan zaman serta mengikuti kebutuhan pelanggan/nasabah.
Sebut saja BTPN dengan platform Jenius-nya yang diluncurkan empat tahun silam. Melalui platform tersebut, nasabah tidak perlu lagi pergi ke kantor cabang untuk membuat rekening baru.
Hanya butuh sentuhan jari dan waktu kurang dari setengah jam untuk membuka akun baru. Melalui platform tersebut nasabah juga bisa mengatur keuangannya melalui penempatan dana untuk tabungan, deposito, bertransaksi, jual beli valas hingga memonitor pengeluarannya.
Upaya menjadi bank digital juga dilakukan oleh bank-bank lain baik BUMN, swasta nasional hingga bank asing yang menancapkan bisnisnya di dalam negeri. Sebagai salah satu bank dengan aset terbesar di Asia Tenggara, DBS juga tak mau kalah.
Dengan mengusung slogan ‘Live more, Bank less’, DBS meluncurkan platform Digibank yang juga bisa digunakan untuk membuat akun baru, memenuhi kebutuhan transaksi nasabah hingga pengajuan kredit seperti KTA.
Tak ketinggalan, bank-bank BUKU IV dengan aset terbesar di Tanah Air seperti BCA, BRI, BNI dan Bank Mandiri turut serta menyemarakkan persaingan dengan mencoba mengadopsi model bisnis bank digital.
BCA misalnya, melalui kanal mobile banking miliknya, bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia tersebut juga sudah memperkenalkan layanan pembukaan akun baru hingga penggunaan QR code untuk transaksi.
Tak sampai di situ saja, ambisi BCA untuk menjadi digital bank juga dilakukan dengan menyuntik modal Bank Royal senilai Rp 1 triliun untuk menggarap menggarap segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Trio bank pelat merah RI yakni BRI, BNI dan Mandiri pun melakukan langkah yang serupa. Sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia BRI juga terus berupaya mewujudkan ambisinya dalam melakukan transformasi digital.
BRI mencoba membangun ekosistem digitalnya melalui berbagai kerja sama dengan perusahaan rintisan fintech hingga online travel agent (OTA) untuk menjangkau konsumen dan memenuhi kebutuhan transaksional hingga kreditnya.
Semangat mewujudkan digital banking juga sangat kental terasa di antara bank-bank swasta nasional yang menghuni BUKU III. Ambil contoh bank Mega. Melalui platform mobile banking miliknya yang dinamai M-Smile, kini nasabah juga bisa memenuhi kebutuhan akan investasinya.
Kini nasabah bank Mega bisa membandingkan berbagai macam reksadana berdasarkan tipe hingga manajer investasinya. Semua ini sekali lagi dilakukan untuk bisa menjangkau nasabah dengan lebih dekat.
Pandemi Covid-19 telah memaksa ratusan juta rakyat Indonesia untuk berdiam diri di rumah. Dengan adanya perkembangan teknologi yang cepat ini memungkinkan masyarakat untuk tetap beraktivitas meski di dalam rumah.
Melihat tren jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus tumbuh hingga mencapai 170 juta orang pada 2019, ditambah dengan penetrasi ponsel pintar (smartphone) yang meningkat di berbagai kalangan serta tren transaksi non-tunai yang ‘kue’-nya semakin membesar, ini adalah peluang besar bagi bank untuk menggarap bisnis digital.
Lagipula dengan memanfaatkan teknologi digital bank pun bisa mendapat keuntungan dari sisi efisiensi biaya. Melalui teknologi digital wilayah geografis Indonesia yang terfragmentasi bukan lagi menjadi alasan. Apalagi jika melihat data bahwa jangkauan akses internet sudah semakin meluas jelas ini pasar yang menarik untuk digarap.
Mengutip Kementerian Komunikasi dan Informatika, jaringan internet 4G telah melayani 82% wilayah Indonesia. Dengan begitu, masyarakat di seluruh pelosok negeri pun berpeluang besar mengakses layanan digital dari perbankan.
Di sisi lain masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan di Tanah Air juga masih sangat tinggi. Berdasarkan kajian Google, Bain & Temasek yang dirilis tahun lalu, ada 92 juta orang Indonesia yang masuk kategori unbanked. Artinya peluang yang ada memang sangatlah besar.
Dalam riset terbarunya, Fitchratings mengatakan bahwa para pemain lama di sektor perbankan akan semakin agresif mengejar agenda transformasi digital akibat adanya Covid-19. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi para pemain baru atau yang disebut sebagai neobanks.
Apalagi dari sisi permodalan bank-bank ini bisa dibilang lebih punya banyak ruang daripada pemain baru seperti fintech yang kebanyakan dibekingi oleh pemodal ventura (venture capital) yang masih harus bakar uang.
Awalnya neobank ini menjadi ancaman bagi bank-bank konvensional akibat model bisnisnya. Namun kini dengan agresifnya bank-bank konvensional untuk menjadi bank digital persaingan pun menjadi semakin semarak.
Uniknya lagi, meski persaingan menjadi semakin ketat, nilai-nilai kolaborasi juga sangat terlihat baik antara bank maupun penantangnya dari perusahaan fintech.
Ke depan berbagai bentuk kolaborasi masih akan terus terjadi, bahkan akan sangat memungkinkan adanya aksi konsolidasi seperti merger dan akuisisi baik bank ke fintech maupun sebaliknya seperti fintech yang mencaplok bank seperti yang dilakukan oleh perusahaan rintisan fintech Akulaku yang mengakuisisi Bank Yudha Bakti setahun silam.
(Source: CNBC Indonesia /dy)